Selasa, 25 Oktober 2016

Menjadi ibu bukan berarti lupa menjadi istri

Menjadi ibu bukan berati lupa menjadi istri

Kalimat itu pernah disampaikan suami saya beberapa bulan lalu ketika saya dan dia berdebat hebat tentang suatu hal, yang saya juga sudah lupa perihal apa.

Tapi bukaaan, yang pasti bukan perkara isu pekerjaan rumah tangga atau hanya sekedar tugas istri dibagian dapur. 

Peran istri disini yang dimaksud,

1. Saya tidak merawat badan , berat badan saya merosot tajam dari normalnya ketika masih gadis menjadi pacar dari suami saya. Karena saya menyusui dan asupan nutrisi tubuh habis disedot oleh bita.
Nutrisi yang keluar tidak seimbang dengan nutrisi yang masuk, itu salah saya tidak mengatur diet seimbang.

2. Saya tidak memperdulikan penampilan/style seperti saat gadis, saya concern tentang style . Tentu karena saya memang berlangganan majalah fashion sejak puber. Sekarang, suami saya lebih sering melihat saya kusut dengan daster , dan ikatan rambut yang berantakan. Hanya jika pergi keluar rumah saya sedikit berdandan. Tapi tidak memuaskan.

3. Hal yang paling inti, saya lupa...bahwa saya adalah seorang istri dari seorang pria, yang bekerja jauh dari rumah, yang memiliki rasa ingin "menikmati istrinya sebagai wanita yang enak dilihat" .
Saya lupa, seperti apapun setianya suami. Dia adalah pria yang butuh maintenance wanitanya.

Suami saya termasuk kritikus yang concern terhadap penampilan saya, every detail dari atas sampai bawah.
Setiap akan pergi berdua, dia akan seleksi dulu mix and macth dari penampilan saya, apakah sudah pas atau belum. Sebaliknya pun saya demikian, tapi saya sudah tidak terrlalu concern, saya yakin dengan selera style-nya sendiri , dia akan berpenampilan baik.

Berbeda dengan saya yang...yahhh, sedikit meremehkan penampilan, karena ada kesombongan dalam hati kecil saya yaitu "udahlah, udah nikah ini..." Hahaha, padahal itu GAK BOLEH BANGET YAHH, KEPIKIRAN KAYAK GITU, BUNUH DIRI NAMANYA!!

Sekarang saya akan mulai membenahi, saya akan berinvestasi dengan skincare, supaya saya tetap dibanggakan di depan umum oleh suami saya di usia kami berapapun.
Saya harus berinvestasi skin care, agar anak saya tidak malu selfie dengan saya di usia saya berapapun.

Dan setelah menyapih bita beberapa bulan lagi, saya akan concern dengan berat badan saya, mengembalikan badan ke berat ideal.

Yahhh,, yukkk teman-teman sebagai sesama istri dan ibu, jangan kayak saya ya, nunggu ditegor suami baru action. Kalau suami udah negor tuh berati kita udah parah , hihihi.

Inget yahh, kadang kita ngomongin orang . "Itu istrinya si A kok gini yah" , "ih istrinya si B kok gitu, B kok mau yah" , padahal kita sendiri lupa, apakah kita sudah pantas untuk tidak dikomentari khalayak lain? *hihihi, self reminder to me*

Senin, 17 Oktober 2016

Peran seorang istri dalam roda perekonomian keluarga

Peran wanita dalam roda ekonomi keluarga .

Saya pernah berkelakar kepada suami saya .

Saya : yank, si x udah resign lo, jadi ibu rumah tangga , kapan ya aku bisa resign

Suami : bentar ya yank, kamu jangan resign dulu , aku masih butuh dibantu, tapi suatu saat kamu boleh kok resign

Dari contoh percakapan saya dan suami saya, jelas terlihat bahwa saya ikut berperan membantu suami saya menjaga roda ekonomi keluarga kecil kami.

Dalam hidup berumahtangga, kebutuhan apa saja yang pokok harus dipenuhi? Pastinya setiap unit keluarga akan memiliki jawaban yang berbeda.

Kalau saya, jelas sandang, pangan, papan, biaya pendidikan, kendaraan, biaya operasional harian(listrik, telfon, bensin dll) , tabungan, dana darurat, bahkan sampai biaya jajan untuk keseimbangan hidup

Semua harus tercukupi? Untuk case dikeluarga kami ya harus. Serta masih ada bab lain seperti membangu keluarga di luar keluarga inti.

Kalau suami saya saja yang bekerja, apakah semua bisa terpenuhi? TIDAK ! Maka dari itu saya bersedia bekerja untuk membantu roda perekonomian keluarga saya berjalan dengan baik, walau kami juga tidak bisa hidup bermewah-mewah. Tapi setidaknya hidup kami saat ini, cukup nyaman.

Ketika kamu adalah seorang wanita yang qualifeid untuk punya suatu pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuanmu , ada beberapa pilihan dihadapanmu.

Menjadi ibu rumahtangga, menjadi ibu bekerja atau menjadi wanita dengan karier yang meroket.

Lantas pertimbangan apa yang bisa dijadikan dasar membuat keputusan?

Apakah kamu merasa dengan kondisi tertentu dipilihanmu itu, roda ekonomi keluargamu akan baik SESUAI STANDAR YANG KAMU TENTUKAN DENGAN SUAMIMU (JANGAN DIBANDINGKAN DENGAN STANDAR RUMAHTANGGA LAIN)??

Salah satu teman saya disuruh resign dari pekerjaannya di bank besar , dan dengan gagahnya sang suami menyampaikan bahwa dirinya sanggup menghidupi keluarga cukup dan memastikan roda ekonomi keluarganya berjalan mulus. 

Sedangkan teman lainnya, ada yang memiliki standar tinggi dalam menjalani rumahtangganya, contohlah liburannya saja beberapa kali ke luar negri. Ketika saya mungkin punya standar membeli rumah tipe 40, mungkin baginya standar rumah adalah tipe 60. Dia akan memilih meniti karier hingga meroket dan berprestasi , agar roda ekonomi keluarga sesuai standarnya berjalan dengan mulus.

Atau seperti saya sendiri, suami saya bilang , "udah yang penting kamu kerja, bantu finansial, tapi gak usah ngejar karier, aku aja yang kerja keras"
Lantas saya memilih untuk bekerja seperti biasa dan tidak ngoyo untuk mengejar karier, karena saya tau persis, standar hidup dalam rumahtangga kami sudah cukup kami capai tanpa saya harus menyamai gaji suami saya , misal.

Adakah yang salah dari ketiga pilihan diatas? Tentu tidak,karena standar hidup manusia sifatnya relatif .

Bagi saya sukses adalah :
1. Finansial cukup 
2. Keluarga bahagia

Akan berbeda dengan standar sukses keluarga yang lain

Tapi ada salah seorang teman wanita saya pernah mengatakan sesuatu yang sayapun lumayan tercengang .

Saya : kenapa wanita harus bekerja?

Teman saya : Supaya ketika suami kita diambil duluan sama Tuhan, anak kita tetap ada harapan untuk hidup layak dan sekolah layak ,seperti pengalamanku sendiri yang ditinggal papaku disaat aku dan adik-adikku sedang usia sekolah, mamaku yang memang bekerja akhirnya bisa membuatku dan adik-adikku tetap hidup layak dan sekolah dengan baik.

Klise? Yaaaa....untuk mendengarkan saja rasanya hati saya bergetar, tapi itu pengalaman pribadinya sendiri sehingga berani dia utarakan.

Di sini saya tidak berniat menyudutkan pilihan manapun, marilah kita sama-sama menghargai pilihan masing-masing

Toh, apakah seorang anak butuh ibu yang sempurna???

Tidak, seorang anak butuh ibu yang berusaha menjalankan perannya sebaik mungkin sesuai versi dirinya, DENGAN BAHAGIA .

Apapun pilihan kita sebagai wanita, bahagia adalah yang utama, karena kebahagiaan kita yang memberikan kontribusi terbesar dalam keharmonisan keluarga.







Bijaksanakah kita sebagai orangtua ?

Bijaksanakah kah orangtua terlalu berharap anaknya pintar ?

Saya dan suami saya tidak termasuk kategori siswa pintar disekolah, walaupun notabene sekolah kami sejak SD-SMA adalah sekolah favorit di kota kami masing-masing. Bahkan denny masuk di SD Unggulan di kotanya .

Tapi jelas, suami saya dan terlebih saya adalah siswa yang biasa-biasa saja. Tidak punya prestasi akademis yang menonjol, atau mininal masuk dalam peringkat 10besar di kelas.

Maka, apakah bijaksana kalau saya dan suami ingin men-setting bita menjadi anak yang berprestasi menonjol pada akademis, sedangkan gen bawaan kami saja standart.

Tentu tidak bijaksana .

Yang saya dan suami saya bisa lakukan hanyalah memberi fasilitas sebaik-baiknya sebagai kendaraan bita mengembangkan otak, bakat dan minat

Seperti, saya berusaha sebaik-baiknya memastikan milestone perkembangan bita di dua tahun pertama kehidupannya karena periode ini adalah periode emas penentu kemampuannya dimasa depan.

Seperti, suami saya berusaha mensuport sebaik-baiknya supaya saya memiliki motivasi untuk belajar dan belajar menjadi ibu yang bisa mendidik bita sebagai madrasah pertamanya . 

Seperti, saya dan suami saya yang mulai menata investasi untuk biaya pendidikan bita di masa depan, agar bita terjamin pendidikannya berjalan sesuai minat dan bakatnya. 

Adalah kewajiban orangtua untuk berusaha 100% bahkan lebih untuk mengantar seorang anak menjadi anak yang berdaya di masa depannya. Tapi bukan hak orangtua untuk menuntut anak "menjadi pintar"  hanya karena supaya orangtua mendapat prestige atau hanya karena orangtua ingin jerih payahnya tidak sia-sia.

Yang wajar adalah, orangtua menuntut anak melaksanakan tanggungjawabnya sebagai anak yang memiliki tugas belajar 

Sejauh ini saya hampir jarang memuji bita "anak pintarrrr" , saya lebih suka memuji bita dengan "anak hebaaat" ketika dia bisa melakukan sesuatu yang baru . Kenapa? Karena seorang bayi/balita itu ketika bisa melakukan sesuatu yang baru, dia melakukannya dengan sekuat tenaga dan pikiran.

Contohlah, baru bisa jalan, itukan berdasarkan atas pengalamannya berusaha berdiri , melangkah berkali-kali dan jatuh . Karena learn by experience itulah akhirnya balita bisa berjalan dengan lancar , dan itu pencapaian yang membanggakan baginya , yahhh karena pasti si balita berusaha susah-payah, itulah kenapa saya memuji "anak hebatt" karena mau berjuang untuk bisa melakukan sesuatu.

Tapi untuk pujian "anak pintar" ???

Pintar yang bagaimana?

Tumbuh kembang bita semuanya sesuai dengan milestone standar WHO , tidak ada yang istimewa .

Beberapa kali memang lebih cepat , seperti contohlah bita bisa berjalan di usia 11,5bulan padahal milestone WHO itu usia berjalan 15bulan

Atau seperti sekarang, bita (usia 16bulan) bisa makan dengan sendok sendiri dan menyuapi boneka, padahal menyuapi boneka di milestone WHO itu usia 18bulan 

Dan beberapa hal lainnya,

Tapi bukan berati semua tumbuh kembang bita lebih cepat dari standar WHO, ada juga yang benar-benar sesuai dengan usia toleransi WHO.

Seperti contoh tentang bicara yang memiliki arti (bukan ocehan tanpa arti), sesuai usia WHO itu usia 15bulan seorang balita bisa mengucapkan 3 kata berarti . dan benar saja,  bita baru bisa mengucap kata berarti diusia tersebut. Setelah sebelumnya saya panik, teman seusia bita sudah bisa menyanyikan lagu dua kata gabung.

Tapi apakah bita disebut terlambat bicara?? Ya tidak juga , karena masih sesuai dengan toleransi WHO .

Jadi dengan case bita begitu, ada yang terlalu cepat tapi juga ada yang time limit, apa bita disebut pintar? Pintar dibanding siapa?

Saya lebih suka menyebut bita , anak yang berkembang sesuai milestone-nya instead of "anak pintar" . Apakah tidak repot kalau nanti ketika sekolah anak sudah over pede kalau dia merasa pintar tapi disekolah ternyata dia kalah dengan anak lain, dan kemudian justru membuatnya drop?

Ketika pada akhirnya dibidang akademis bita tidak menonjol, saya dan suami saya mungkin sudah harus bersiap untuk itu.

Yang perlu kami tau sejak dini adalah, apa minat dan bakat (passion) bita, itulah yang harus kami kembangkan

Disini berapa orangtua yang tau bakat dan minat anaknya? Contohlah orangtua saya saja... Mereka tidak tau kalau bakat saya adalah menulis dan minat saya adalah berenang

Boro-boro di les-kan renang, saya malah diikutkan les menari yang saya sangat benci.

Akhirnya, saya jadi tidak bisa menjalankan passion saya dan benar-benar menjadi anak yang so so standart (terlihat seperti tidak punya bakat dan minat apapun) 

Itulah yang tidak saya inginkan pada bita. 

Saya ingin bakatnya berkembang seperti papanya yang punya bakat nge-drum dan tersalurkan lewat prestasi ngeband (contoh)

Saya mencoba tidak berekspektasi terlalu tinggi bita akan masuk 10besar dikelasnya, tapi jika itu terjadi dan atas usaha kerasnya , maka akan saya akan memujinya si anak hebat yang mau berusaha keras.

Kalau anak berusaha menjalani akademisnya sesuai jalur, berati dia melakukan 100% tanggungjawabnya , tapi jika anak berusaha berprestasi berati dia melakukan tanggung jawabnya lebih dari 100% , pantas untuknya mendapat pujian dari kita

- orangtua yang belajar menjadi orangtua