Yah karena nikah tu keputusan besar... Besaaaaar banget karena akan dijalani sampai jatah umur habis
Pacaran dan menikah itu 2 hal yang JUAUUUHHH DARI KATA "SAMA AJA"
pacaran gak komitmen bisa ditinggal begitu aja, namanya juga masih milih-milih. Lah kalo nikah gak komitmen, hidup jadi taruhan.
Saya termasuk yang beruntung memiliki pasangan yang sepaham dengan saya. Setelah 5tahun pacaran, hal paling penting dalam sebuah hubungan akhirnya kami dapatkan yaitu kesepahaman ideologi dan persamaan visi misi dalam hidup. Yess, we get a point of "manfaat pacaran".
Saya tau benar suami saya seperti apa, dan suami saya pun demikian terhadap saya. Kami berangkat menikah dengan kesadaran bahwa MENIKAH ADALAH BERSANDINGNYA DUA MANUSIA MERDEKA,bukan salah satu mendominasi yang lain.MERDEKA menentukan pilihan, walau pada akhirnya empati lebih mendominasi keputusan dibanding obsesi pribadi.sehingga pada akhirnya yang ada hanyalah keinginan do the best version of my self to be a good wife/husband+parents.
Kami sama-sama tau siapa yang kami nikahi. Kami sama-sama tau bahwa tujuan kami sama, yaitu membangun rumah tangga yang bisa menjadi "rumah" bagi anggotanya dengan cara menjalani sebaik-baiknya peran kami masing-masing sesuai kapasitas hak dan kewajibannya.
Dulu waktu pacaran, saya dan suami sama-sama pribadi yang cuek, hubungan pacaran gitu-gitu aja. Cukup dengan komitmen you are mine and i am yours , enough.
Tidak banyak romantisme yang berlebihan, kami hanya menjalani alakadarnya , fokus mengejar masa depan masing-masing dan pada akhirnya membuat komitmen untuk membentuk keluarga (membentuk keluarga ya bukan menikah, i mean membentuk keluarga itu menikah dengan sudah dibicarakannya semua ideologi dari segala aspek baik agama, finansial, sosial dll)
Ketika sudah menikah, hubungan kami BERUBAH 100% . Karena kami semakin belajar, bagaimana memelihara sebuah hubungan baik secara tradisi maupun secara agama.
Kenapa dibedakan secara tradisi dan agama?
Ya karena hubungan suami istri yang diatur dalam tradisi dan agama berbeda
Tradisi mengajarkan istri untuk berada dibawah suami yang mengurus SEMUA HAL DALAM RUMAH TANGGA. Pelayanan biologis, masak , bersihin rumah, urus anak, dan buanyak peer lainnya sampai dimasyarakat kita kalo anak gagal yang disalahkan ibu, tapi kalo anak berprestasi yang diagungkan bapak. Suami hanya bertugas mencari nafkah.
Sedang dalam agama sebaliknya , semua yang ada di rumah adalah tanggung jawab suami, sedang istri hanya bertugas melayani secara biologis .
Saya dan suami saya tidak menjalani baku salah satu dari itu, setelah persamaan persepsi akhirnyapun kami memiliki persepsi yang sama karena kami saling "ber-empati" satu sama lain. Dan semua itu sangat mudah disepakati karena kembali kami memiliki visi dan misi yang sama. Yaitu menjadikan rumah tangga ini rumah, sehingga semuanya nyaman.
Suami saya mencari nafkah, begitupun saya membantu mencari nafkah , bukan karena suami saya meminta untuk dibantu banting tulang. Melainkan suami saya tetap menginginkan saya tetap produktif, dengan produktif saya tetap menjadi pribadi yang kritis . Istri kritis adalah bagian yang dia butuhkan. Sedang dari sisi saya, jelas selain menjalankan otak, saya memang ingin turut membangun perekonomian keluarga kecil kami agar lebih dinamis dalam finansial.
Saya tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga , ketika ART mudik dan suami sedang berada dirumah, suami sayalah yang menyapu dan mengepel. Saya lebih banyak memegang anak. Saya tidak melakukan multitasking dengan memegang anak sembari melakukan pekerjaan rumah tangga seperti ibu rumah tangga yang ideal secara tradisi. Bukan karena suami saya masuk dalam jajaran suami takut istri, melainkan suami saya menyadari bahwa hubungan rumah tangga adalah kerja team, apa yang dapat dia lakukan untuk peer dalam rumah, he will do it. Dan ketika semua peer tuntas, kami akan berbaring bersama di kasur sambil senyum mengembang just like "we made it".
Saya membebaskan suami saya bergaul dengan teman-temannya seluas mungkin.
Malam tahun baru kemarin suami saya menghabiskannya di sebuah hotel dipusat kota jakarta melanjutkannya dengan nongkrong dicafe selepas check out keesokan harinya. Sedangkan saya menghabiskan tahun baru bersama bita dikasur dalam kondisi sangat stress menghadapi target akhir tahun dalam pekerjaan. Lantas apakah saya keberatan? Apakah saya marah? Tidak sama sekali. Menikah tidak membuat kehidupan bersosial terhambat, pun tidak menghabat hobi (hobi suami saya adalah menjajakan uangnya di majalah mobil dan sepatu) . Bukan, bukan karena saya takut pada suami saya, lantas suami saya boleh seenaknya menghabiskan waktu dan uangnya. Tapi saya sadar seorang manusia memiliki titik stress dan stress itu dapat dilawan dengan bersenang-senang -yang sesuai passion- , begitupun saya, sebagai manusia biasa butuh refresh.
Suami saya tidak keberatan mempacking sendiri kopernya karena saya sudah sibuk dengan koper saya dan koper bita ketika perjalanan keluarga dan membantu menggendong bita saat jalan-jalan tanpa membebani saya sedikitpun , sama seperti saya tidak keberatan antri di bengkel untuk service mobil.
Semua itu dapat kami jalankan beriringan karena kembali lagi kami satu visi dan misi. ketika pacaran kami saling cuek tapi tidak begitu setelah menikah, saya berulangkali mengingatkan kepada suami saya agar memelihara romantisme, karena pernikahan akan berjalan puluhan tahun , maka rasa bosan akan mudah datang sehingga cinta harus terus dipelihara.
Hati merasa tenang saling memiliki ketika tau , pasangan kita do the best for family sesuai perannya
Hati merasa tenang menjalani hidup ketika kita dan pasangan sama-sama lebih suka menghitung yang harus disyukuri daripada membandingkan dengan yang oranglain capai
Hati merasa tenang ketika dalam rumah tangga semua pemikiran sepaham dengan teman hidup, partner hidup sehingga pergesekan pendapat bukan menjadi menu utama melainkan hanya pemanis untuk saling mengingatkan.
Tanpa visi yang sama Saya tidak akan lulus asi exclusife , kalau suami saya tidak mah belajar, dia tidak akan mengerti pentingnya asi, bagaimana asi diproduksi yang berhubungan denga peran suami. But because of out vision, he try his best as a husband to support me.
Tanpa visi yang sama, saya akan mudah curiga dan insecure ketika sedang berjauhan dengan suami saya, karena meragukan loyalitas dan integritasnya dalam menjalani peran sebagai suami. Begitupun sebaliknya
Tanpa visi yang sama, mungkin tidak akan muncul dari mulut suami saya, bahwa dia percaya pola asuh yang saya terapkan pada bita. He trust me because he knows that i will try my best as a mom and wife.
Tanpa visi dan misi yang sama, tidak akan ada tidur nyenyak ketika malam datang dan bangun tidur dengan semangat ketika pagi menjemput.