Kamis, 17 November 2016

Behind The Screen Seorang Ibu

Sedikit saya ingin bercerita tentang "behind the screen seorang ibu"

Jika beberapa dari yang baca merasa "loh ini indri ngomongin aku", mungkin iya benar, karena saya melihat sekeliling, kemudian berpendapat. Tidak mendiskreditkan ya..., hanya berpendapat.

Hari ini saya pulang terlambat sampai rumah (baca: bita sudah tidur ketika saya pulang), kemudia saya bertanya pada tante saya yang menjaga bita. Apakah bita mencari saya.

Tante saya bilang:"setiap ada suara mobil, bita pasti langsung mamah mamah, dikira kamu"

Lantas saya merasa sangat bersalah, saya belai rambutnya kemudian saya bisiki "mau nenen gak nak?" , bita menjawab dengan mata sangat berat "nyenyeny" . Dan saya merasa sangaaaaat lega.

Bagi seorang ibu bekerja seperti saya, momen pulang kantor dan melihat tingkah polah anak adalah hal yang istimewa, sama mewahnya dengan me time atau hangout dengan teman. 

Kami sering merasa iri dengan para ibu rumah tangga yang dapat merekam setiap jengkal milestone yang dilewati buah hatinya.

Tapi apakah cerita ibu rumah tangga itu seindah bayangan kami?

Ternyata tidak juga.

Kemarin seorang teman saya ibu rumah tangga yang pekerjaan sehari-harinya mengerjakan seluruh pekerjaan yang ada di rumah. Dari mulai urus anak sampai urusan bersih-bersih dan masak.

Anaknya tidak bisa jauh sedetikpun darinya, kemanapun harus ikut (termasuk ke kamar mandi), padahal pekerjaan rumah semenumpuk itu hingga harus setrika baju jam00 hingga jam03 pagi.

Apa pendapatmu? Bahkan membayangkan saja untuk melewatinya saya tidak mampu.

What do you think guys? Is she has a me time? Is she has a social circle?
Jawabannya NOPE.

Mereka iri dengan para ibu bekerja yang punya social life? Ya mereka iri. Sama irinya para ibu bekerja yang tidak memilih berkarier atau jalan di tempat dengan mereka yang kariernya melesat bak roket.

Karier mereka yang melesat bak roket itu, apakah mereka artinya menelantarkan anak mereka?

Pernah saya membaca postingan path seorang mantan supervisor di kantor saya yang isinya merasa sedih dengan tuduhan orang-orang bahwa dia lebih memilih kerjaan dibanding anaknya.

Dear people, itu menyakitkan.

Apa kalian sudah tau alasan dibalik pengejaran kariernya? 
Apa kalian sudah cukup tau bahwa anaknya diurus dengan baik atau tidak?

Pada postingan saat itu, dia menjelaskan bahwa anaknya tetap menomorsatukan dirinya dibanding siapapun.

Well, itu adalah jawaban terlogis buat saya saat ini untuk membeli mulut mereka yang mendiskreditkan para ibu-ibu pengejar karier.

Saya kebetulan tidak berniat mengejar karier. Saya tidak mampu seperti mereka yang harus memiliki energy 300% yang dibagi 200% untuk kantor dan 100% untuk rumah.
Kenapa 200% untuk kantor? Karena ketika kamu mengejar karier, pekerjaan bukan hanya sekedar jobdesk tapi lebih berkalilipat dari itu. Kemampuan yang tidak semua orang, mampu. (Saya sangat mengakui saya tidak mampu).

Energi saya sejauh ini hanya 225% yaitu 100% untuk kantor dan 125% persen untuk rumah. Yaaa, karena saya memiliki peran sedikit lebih dirumah atas kondisi suami saya jauh.

Dan mereka para ibu rumah tangga?entah berapa persen energy yang harus mereka charge berkali-kali. Tanpa amunisi charger yang optimal (karena mungkin me time pun sulit).

Pada akhirnya semua hanya sawang sinawang untuk menilai peran ibu yang mana yang enak.

Semua ini hanya behind the screen kondisi seorang ibu.

Pada akhirnya di depan layar semua sama, memposting foto bersama anaknya sambil memberi caption bahwa anaknya adalah sumber kebahagiaannya

Walau dibalik itu, 
Ibu rumah tangga merasa teramat sangat lelah dan bosan. Membayangkan saat dimana masa gadinya dulu sangat menyenangkan

Ibu pekerja merasa gigit jari melihat teman seangkatannya memiliki karier melesat. Namun mereka harus mengubur dalam-dalam mimpi mereka ketika memakai toga. Menurunkan ego mereka untuk mempertahankan bonding dengan anaknya.

Ibu yang mengejar karier merasa sangat sedikit memiliki waktu untuk anaknya. Berangkat tidur pulangpun si anak tidur. Merasa sangat tersayat ketika anaknya merengek tidak memperbolehkan mereka berangkat bekerja. Dan waktu bersama anak harus tersendat sendat karena whatsapp dari kantor.

Tapi,

Tidak ada parameter ibu yang baik itu ditentukan dari keberadaannya dirumah atau tidak.
Ibu yang baik adalah ibu yang bahagia. Karena kebahagiaan membawa lingkungan sekitar menjadi beraura baik.